RIAU (RA) - Masyarakat diimbau untuk tidak memberikan uang 'terima kasih' kepada penyelenggara negara atas jasa yang telah mereka berikan. Walaupun itu sudah dianggap budaya.
Wakil Ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Direktur Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Giri Suprapdiono minta kepada masyarakat tidak membiasakan memberikan sesuatu (gratifikasi) kepada pejabat atau penyelenggara negara, meski itu alasan sebagai ucapan terima kasih karena kerjanya bagus.
Menurut Giri, sesuatu yang tidak baik itu tidak perlu dibudayakan meski sudah terbiasa. Karena itu, stigma gratifikasi yang dianggap biasa sebagai ucapan terima kasih.
"Kita bicara budaya itu sesuatu yang baik, bukan membudayakan sesuatu yang tak baik. Jadi jangan pernah memberi sesuatu kepada pejabat negara atau penyelenggara negara. Budaya ini memang harus dihilangkan," kata Wakil Ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Alexander Marwata, di Hotel Pangeran, Rabu (9/11).
Wakil Ketua KPK ini kembali menegaskan pemberian uang terima kasih terkadang dipandang sesuatu hal yang biasa. Kecuali itu alasannya biaya yang harus dikeluarkan adalah biaya resmi. Untuk merubah kebiasaan ini, diperlukan satu pemahaman mengenai gratifikasi merupakan tindakan salah.
KPK sendiri papar Alexander, akan mengawal perbaikan sistem pengelola keuangan daerah, termasuk juga peningkatan sumber daya manusia para penyelenggara negara. Terlebih Riau yang terkenal akan kaya sumber daya alamnya ini masuk dalam empat provinsi jadi perhatian KPK dalam hal korupsi.
Sebelumnya, Gubernur Riau (Gubri) Arsyadjuliandi Rachman tandatangani deklarasi Anti Gratifikasi bersama para pejabat bupati/walikota se Riau di Hotel Pangeran. Penandatanganan ini langsung disaksikan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Alexander Marwata.
Hadir pada kesempatan ini, Ketua Ombudsman RI Amzulian Rivai, Kapolda Riau Brigjend Pol Zulkarnain, para Kapolres, para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemprov Riau, Ketua Ombudsman Perwakilan Riau Ahmad Fitri. Tampak juga sejumlah pimpinan pelaku usaha diantaranya Direktur RAPP Rudi Fajar beserta jajarannya, serta berbagai undangan lainnya.
Dari draf Deklarasi Anti Gratifikasi yang ditandatangani tersebut, pertama tidak menerima gratifikasi, suap dan uang pelicin dalam bentuk apa pun. Kedua, tidak memberi gratifikasi suap dan uang pelicin dalam bentuk apapun, serta ketiga membangun sistem pencegahan korupsi di lingkungan Pemerintah Daerah (Pemda), bersama membangun budaya anti gratifikasi.
Gubri dalam sambutannya menyatakan, pelayanan publik yang tidak memiliki prosedur yang jelas dapat menyebabkan munculnya berbagai tindakan yang dapat menimbulkan gratifikasi mau pun korupsi.
Karena itu, Pemerintah Provinsi Riau sendiri terus berupaya memberikan standar pelayanan dan prosedur yang jelas untuk mengantisipasi tindakan menyimpang. Karenanya, pelayanan publik dianggap menjadi area yang sangat rawan terhadap perilaku dan tindakan korupsi seperti gratifikasi, pungutan liar dan suap. Untuk mengantisipasi ini.
"Saya menyadari betapa diperlukannya komitmen untuk mengatasi perilaku dan tindakan korupsi dalam pelayanan publik," ungkap Gubri. Sementara Ketua Ombudsman RI Amzulian Rivai mengatakan persoalan utama lembaga di Indonesia terletak pada rendahnya kepercayaan terhadap pelayanan publik.
"Berdasarkan indeksi persepsi korupsi tahun 2015, negara terbaik di dunia dalam anti korupsi masih dipegang oleh empat negara di Skandinavia," ungkapnya dikutip dari riauterkini.com.
Rivai menambahkan apabila pelayanan publik baik maka dapat dipastikan tingkat korupsi di suatu negara juga rendah, begitu juga sebaliknya.
"Jumlah pengaduan masyarakat tentang pelayanan publik ke Ombudsman mencapai 6 ribu lebih, dan tahun 2016 ini jumlahnya mendekati 10 ribu laporan," ujarnya.
Ombudsman, dikatakan Rivai, lebih fokus kepada mekanisme administrasi, berbeda dengan KPK yang fokus kepada korupsi. Mekanisasi ini akan mengarah kepada korupsi, dan suap.
"Jadi jangan anggap remeh mekanisasi ini. Kemudian juga bagaimana pelayanan itu tidak berlarut dalam pengurusan, bagaimana agar tidak berlarut lagi," imbuhnya.
Dari laporan yang masuk paparnya, jenis mekanisasi ini sebanyak 20,30 persen berupa tidak memberikan pelayanan, lalu penyimpangan prosedur sebanyak 18,66 persen, dan penyalahgunaan wewenang sebanyak 12,44 persen.
